Oleh: Purn Brimob Polri Muladi, Instruktur PB dan SAR, Pengurus FPRB-PROVSU

Salam Motivasi dan Inspirasi – Tangkas, Tanggap, Tangguh

[KJINewsroom] -- 26 Desember 2004 menjadi hari yang tak akan pernah terlupakan oleh rakyat Indonesia, khususnya warga Aceh. Tsunami yang melanda tidak hanya menelan puluhan ribu nyawa, tetapi juga mengguncang seluruh tatanan kehidupan. Bencana tersebut mengajarkan bangsa Indonesia tentang ketangguhan, pentingnya persatuan, dan bagaimana sebuah tragedi dapat menjadi pelajaran besar untuk masa depan.

Sebagai seorang yang terlibat langsung dalam penanggulangan bencana di Aceh, saya merasa bahwa pengalaman tersebut adalah guru yang sangat berharga. Setiap kali saya melatih penanggulangan bencana, saya selalu menjadikan Tsunami Aceh sebagai contoh utama. Saya mengajarkan bahwa "Orang Aceh belajar dari dirinya sendiri, dan kita yang di luar Aceh belajar dari Aceh." Dari sini lahir banyak hal penting yang mengubah cara kita melihat dan menanggulangi bencana, salah satunya adalah Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian melahirkan lembaga seperti BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah).

Dari Konflik Menuju Rekonsiliasi

Sebelum gempa dan tsunami datang, Aceh sudah berada dalam kondisi yang penuh gejolak. Konflik berkepanjangan antara pihak-pihak yang terlibat telah memecah belah masyarakat. Saya sendiri pernah bertugas di Aceh, baik pada masa konflik maupun saat bencana, serta terlibat langsung dalam pelatihan personel Brimob dan kepolisian lainnya. Pengalaman ini memberi saya pemahaman mendalam tentang karakteristik Aceh dan akar penyebab konflik yang terjadi.

Konflik tidak muncul begitu saja. Ia adalah rangkaian sebab-akibat yang panjang: keserakahan dan ketidakadilan yang menumbuhkan kesenjangan, lalu kecemburuan yang memicu gejolak, yang akhirnya berubah menjadi konflik. Konflik ini mengarah pada perpecahan yang begitu dalam, saling membunuh, serta dendam yang tak kunjung padam.

Namun, bencana datang seperti peringatan yang tak terduga. Gempa bumi yang disusul dengan tsunami besar merenggut ratusan ribu nyawa dalam sekejap mata. Namun, ada sesuatu yang luar biasa yang terjadi setelah bencana itu. Orang-orang yang sebelumnya saling bermusuhan, kini berubah menjadi sesama yang saling menolong. Bencana mematahkan dendam, menyatukan yang tercerai, dan membuka jalan bagi perdamaian. Sebuah perubahan yang luar biasa, yang mengajarkan kita tentang kekuatan persatuan dalam menghadapi bencana.

Bencana Hari Ini: Peringatan yang Tak Kunjung Padam

Namun, pelajaran ini tidak hanya berhenti di Aceh. Hari ini, kita kembali dihadapkan pada bencana alam yang tak kalah dahsyatnya. Banjir bandang, longsor, dan banjir tergenang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali mengingatkan kita akan pentingnya menjaga alam. Namun, bencana ini bukan hanya karena faktor alam semata. Banyak dari bencana yang terjadi adalah akibat ulah manusia yang mengabaikan alam.

Hutan-hutan dibabat untuk kepentingan pribadi, sungai-sungai dirusak oleh aktivitas ilegal, dan tata ruang yang semestinya dikelola dengan bijak sering kali diabaikan. Sudah banyak yang mengingatkan, bahkan melalui aksi-aksi demonstrasi, namun sering kali pihak pengusaha dan pemerintah acuh tak acuh terhadap peringatan tersebut.

Sebagai bangsa yang berdaulat, tugas kita sekarang adalah rekonsiliasi dengan alam dan sesama. Dalam pemerintahan yang baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, kita dihadapkan pada tugas besar: rehabilitasi ekosistem yang rusak, serta rekonstruksi tata kelola yang adil dan berkelanjutan. Jika kita tidak belajar dari sejarah bencana, sejarah tersebut akan terus terulang.

Menghadapi Masa Depan yang Lebih Baik

Pertanyaannya sederhana namun penuh makna: Sampai kapan kita merasa aman dari bencana? Bencana bukan untuk ditakuti, tetapi untuk dipahami, diantisipasi, dan dijadikan cermin bagi perbaikan.

Kita jaga alam, alam jaga kita. Jika kita bisa belajar dari sejarah, kita akan lebih bijak dalam menghadapinya. Indonesia harus menjaga NKRI dengan harga mati, dan menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketidakadilan, baik sosial maupun terhadap alam, adalah sumber masalah yang dapat mengarah pada kehancuran.

Di era modern ini, kita harus lebih tanggap, tangkas, dan tangguh dalam menghadapi tantangan bencana yang mungkin datang kapan saja. Kita perlu menanamkan prinsip ini dalam setiap lapisan masyarakat. Jangan sampai bencana yang datang hanya menjadi kenangan buruk, tetapi jadikanlah itu sebagai momentum untuk bangkit dan membangun bangsa yang lebih baik lagi.

Salam Tangkas, Tanggap, Tangguh.


Penulis: Purn Brimob Polri Muladi, seorang instruktur Penanggulangan Bencana (PB) dan Search and Rescue (SAR) serta pengurus Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Provinsi Sumatera Utara (PROVSU).