![]() | |
| Konferensi pers kasus dugaan korupsi dana bantuan banjir di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara. (Sumber Photo: Kejari Kabupaten Samosir) |
Bantuan yang Diperdagangkan: Jejak Kekuasaan di Balik Korupsi Dana Bencana Samosir
Banjir bandang tidak hanya menghancurkan rumah dan ladang di Kabupaten Samosir. Ia juga membuka satu fakta pahit: di tengah penderitaan warga, bantuan kemanusiaan justru diduga dijadikan komoditas oleh pejabat yang seharusnya menjadi garda terdepan perlindungan sosial.
Kejaksaan Negeri Samosir kini menyeret Fitri Agus Karokaro, Kepala Dinas Sosial dan Pemerintahan Masyarakat Desa, ke pusaran hukum. Ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi dana bantuan penguatan ekonomi korban bencana tahun 2024—kasus yang memperlihatkan bagaimana kewenangan bisa berubah menjadi alat transaksi.
Kepala Kejari Samosir, Satria Irawan, menyebut negara mengalami kerugian sedikitnya Rp 516.298.000. Angka itu bukan sekadar statistik keuangan, melainkan potongan hak warga yang mestinya digunakan untuk bertahan hidup pascabencana.
Padahal, Kementerian Sosial RI telah mengucurkan dana bantuan dengan total mencapai Rp 1,5 miliar. Dana itu dirancang untuk disalurkan langsung kepada korban dalam bentuk bantuan tunai, agar masyarakat bisa segera memulihkan ekonomi keluarga mereka. Namun, di level pelaksana daerah, rencana itu diduga dibelokkan.
Mengubah Skema, Mengunci Akses
Penyidik menemukan adanya perubahan mekanisme penyaluran bantuan. Skema cash transfer yang transparan dan mudah diawasi, diduga diganti menjadi bantuan barang—sebuah pola yang kerap membuka celah permainan anggaran.
Tak berhenti pada perubahan konsep, Fitri Agus juga diduga menyarankan sekaligus menunjuk satu badan usaha desa, BUMDes-MA Marsada Tahi, sebagai penyedia barang. Penunjukan itu kini menjadi bagian krusial dalam konstruksi perkara, karena beririsan langsung dengan dugaan konflik kepentingan dan pengaturan distribusi.
“Perubahan mekanisme penyaluran bantuan tersebut diduga menjadi pintu masuk terjadinya penyimpangan,” ungkap sumber penegak hukum yang mengetahui proses penyidikan.
Dugaan Jatah 15 Persen
Fakta yang paling mencolok dalam perkara ini adalah dugaan permintaan penyisihan dana sebesar 15 persen dari nilai bantuan. Penyisihan itu, menurut Kejari, diminta tersangka untuk keuntungan pribadi dan pihak lain.
Jika dugaan ini terbukti, maka korupsi yang terjadi bukan bersifat administratif semata, melainkan kesengajaan yang dirancang—sebuah tindakan yang dilakukan dengan sadar, terencana, dan memanfaatkan posisi strategis di birokrasi.
Di titik inilah kasus Samosir berubah dari sekadar pelanggaran anggaran menjadi pengkhianatan terhadap nilai kemanusiaan.
Dari Ruang Jabatan ke Balik Jeruji
Kini, Fitri Agus Karokaro harus menanggalkan atribut jabatannya. Berdasarkan Surat Perintah Penahanan Kepala Kejaksaan Negeri Samosir, ia resmi ditahan di Lapas Kelas III Pangururan selama 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan.
Negara menjeratnya dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi—pasal yang dikenal sebagai “pasal berat”. Ancaman hukuman bukan hanya penjara bertahun-tahun, tetapi juga perampasan aset dan pembayaran uang pengganti, sebagai upaya memulihkan kerugian negara.
Ujian Nurani Penyelenggara Negara
Kasus ini menjadi pengingat keras bahwa korupsi dana bencana adalah kejahatan berlapis. Ia tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memotong peluang hidup warga yang sedang berada di titik paling rentan.
Jawaban atas pertanyaan itu kini berada di tangan aparat penegak hukum—dan di bawah sorotan masyarakat yang menuntut agar bantuan untuk korban bencana tidak lagi menjadi bancakan kekuasaan.

0 Comments