Menundukkan Ego: Jihad Terbesar yang Sering Kita Abaikan
Oleh: Ustadz Burhan Bin Hasan
[KJINewsroom] -- Di zaman ketika suara paling keras sering dianggap paling benar, ego menjadi raja yang diam-diam mengendalikan banyak keputusan manusia. Kita hidup dalam budaya pembuktian diri: ingin diakui, ingin menang, ingin terlihat lebih unggul. Namun jarang sekali kita bertanya, siapa sebenarnya yang sedang kita perjuangkan—kebenaran atau ego?
Islam sejak awal telah mengingatkan bahwa musuh terbesar manusia bukanlah yang berada di luar dirinya. Rasulullah ﷺ bersabda, “Musuh terbesarmu adalah nafsumu yang ada di dalam dirimu.” Sebuah pernyataan yang terasa sederhana, namun sangat sulit diamalkan. Sebab melawan orang lain lebih mudah daripada melawan diri sendiri.
Al-Qur’an menggambarkan kondisi batin manusia dengan sangat jujur. “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabbku” (QS. Yusuf: 53). Ayat ini bukan untuk melemahkan manusia, melainkan untuk menyadarkan bahwa tanpa bimbingan Ilahi, ego akan cenderung membawa kita pada kesombongan, amarah, dan kezaliman—baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri.
Sering kali ego menyamar dalam bentuk yang tampak “baik”. Ia hadir sebagai pembelaan diri, ambisi, bahkan semangat beragama. Kita marah bukan karena kebenaran dilanggar, tetapi karena harga diri terusik. Kita berdebat bukan untuk mencari hikmah, melainkan untuk menang. Di titik inilah ego menjadi berbahaya—karena ia memakai topeng kebenaran.
Islam tidak memerintahkan pemeluknya untuk mematikan ego. Ego adalah bagian dari fitrah manusia. Yang diperintahkan adalah menundukkannya. Ego yang tidak dikendalikan akan melahirkan konflik, kegelisahan, dan kehampaan batin. Sebaliknya, ego yang disucikan akan melahirkan keberanian untuk jujur, kekuatan untuk bersabar, dan kerendahan hati untuk tunduk kepada Allah.
Menundukkan ego bukan konsep abstrak. Ia dilatih melalui ibadah yang sering kita anggap rutinitas. Sholat mengajarkan kita untuk patuh, bahkan ketika keinginan berkata sebaliknya. Puasa melatih kita menahan diri dari yang halal, agar lebih mampu menjauhi yang haram. Dzikir menenangkan jiwa yang gelisah oleh keinginan untuk diakui dan dipuji. Muhasabah memaksa kita bercermin, bukan menunjuk.
Menariknya, apa yang diajarkan Islam ini sejalan dengan temuan psikologi modern. Ego yang tidak terkendali terbukti menjadi sumber stres dan konflik emosional. Sementara latihan spiritual seperti sholat dan dzikir terbukti membantu menstabilkan emosi dan menenangkan pikiran. Ini menunjukkan bahwa syariat bukan hanya tuntunan moral, tetapi juga terapi jiwa.
Allah menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang mampu menahan hawa nafsunya. “Adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan dirinya dari hawa nafsu, maka surgalah tempat tinggalnya” (QS. An-Nazi’at: 40–41). Ayat ini menegaskan bahwa kemenangan sejati bukan terletak pada kemampuan menundukkan orang lain, melainkan pada keberhasilan menundukkan diri sendiri.
Dalam kehidupan sosial, orang yang mampu mengendalikan egonya justru tampak lebih tenang dan berwibawa. Ia tidak mudah tersinggung, tidak haus pujian, dan tidak tergesa membalas. Ia kuat bukan karena selalu menang, tetapi karena mampu mengalah demi kebaikan yang lebih besar.
Pada akhirnya, kemerdekaan sejati bukanlah kebebasan melakukan apa saja yang kita inginkan. Kemerdekaan sejati adalah ketika kita tidak lagi diperbudak oleh keinginan diri yang berlebihan. Ketika ego tunduk di hadapan Allah, jiwa justru menjadi merdeka.
Mungkin inilah jihad terbesar yang sering kita abaikan: jihad yang tidak terlihat, tidak dipuji, dan tidak dirayakan. Namun di sanalah letak nilai tertinggi seorang hamba—saat ia mampu berkata pada dirinya sendiri, “Cukup. Aku tunduk.”

0 Comments