Sunyi Pemberitaan di Sumatera: Siapa yang Memetik Untung?
Oleh: Nirwan Junaidi Rokan (Aktivis Sosial dan Pemerhati Media)
Di tengah hiruk-pikuk permasalahan besar yang mendera Sumatera, ada satu hal yang semakin menguat: keheningan pemberitaan. Seolah-olah suara kritis yang biasanya mengguncang kesunyian, kini semakin redup, tertutup oleh kabut ketakutan dan ketidakpastian. Ancaman terhadap wartawan, deforestasi yang merusak hutan, meningkatnya kriminalitas, serta bencana alam yang terus berulang—semua ini jarang mendapat sorotan mendalam yang layak. Tapi di balik sunyi pemberitaan ini, ada satu pertanyaan besar yang membelit: Siapa yang diuntungkan?
Ancaman yang Membungkam Suara Kebenaran
Tak jarang kita mendengar cerita tentang wartawan yang dihantui ancaman—baik yang datang langsung dari pihak yang merasa terganggu oleh pemberitaan, maupun yang datang dari kekuatan tak terlihat yang berusaha menekan media. Wartawan-wartawan yang terjun langsung ke lapangan sering kali harus memilih antara mempertaruhkan nyawa dan keselamatan pribadi mereka atau kehilangan akses ke informasi yang sangat dibutuhkan publik. Ini adalah harga yang harus dibayar untuk mengungkap fakta.
Namun, pertanyaannya adalah: siapa yang diuntungkan jika suara-suara yang mengungkap kebenaran itu dibungkam? Di Sumatera, tanah yang kaya akan sumber daya alam ini, ancaman terhadap jurnalis semakin menguat ketika mereka mencoba menggali lebih dalam mengenai deforestasi yang menggerogoti hutan tropis, atau ketika mereka berani membuka tabir praktek ilegal yang terjadi di balik industri-industri besar.
Deforestasi: Hutan Hilang, Siapa yang Meraup Keuntungan?
Di sisi lain, deforestasi yang terus berlangsung di Sumatera—hutan yang hilang untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit, pertambangan, atau untuk keperluan lain—menjadi masalah lingkungan yang sangat krusial. Tetapi, mengapa kita jarang mendengar pemberitaan mendalam mengenai hal ini? Mengapa ketika hutan-hutan ini dibabat, ketika habitat satwa hilang, dan ketika udara semakin tercemar, suara kritis itu tak pernah cukup nyaring?
Di balik keheningan ini, ada kemungkinan bahwa pihak-pihak yang mengeruk untung dari bisnis-bisnis besar tersebut tidak ingin berhadapan dengan sorotan media. Dan siapa yang paling menderita? Tentu saja masyarakat sekitar—mereka yang tergantung hidupnya pada hutan dan alam, serta generasi mendatang yang akan mewarisi bumi yang semakin tergerus.
Bencana Nasional dan Kriminalitas: Hanya Sorotan Sesaat
Begitu pula dengan bencana yang menghantam Sumatera, dari banjir yang menggenangi pemukiman warga, hingga kebakaran hutan yang tidak hanya merusak alam, tetapi juga menyengsarakan masyarakat sekitar. Sekilas, media memberitakan, memberikan liputan sesaat—namun setelah itu, kabar itu tenggelam. Bantuan mengalir, namun kadang kita bertanya, apakah itu sampai pada yang benar-benar membutuhkan? Atau justru sebagian dari bantuan tersebut mengalir ke pihak-pihak yang memiliki akses dan pengaruh, sementara yang terdampar tetap terlupakan?
Kriminalitas juga menjadi perhatian yang sering kali terabaikan. Perjudian, narkoba, ilegal logging, begal, dan curanmor—semua itu adalah ancaman nyata yang menyelimuti masyarakat Sumatera. Namun, sering kali pemberitaan hanya mencuat di permukaan dan tidak menggali lebih dalam. Padahal, di balik setiap aksi kriminal, ada jaringan dan kekuatan yang lebih besar yang tidak tersentuh oleh hukum.
Sunyi Pemberitaan, Keuntungan bagi Pihak Tertentu?
Keheningan pemberitaan ini bukan hanya soal keengganan media untuk meliput—ini adalah soal sistem yang menekan. Tekanan ekonomi media, ketakutan akan ancaman, serta ketidakpastian dalam menjalankan profesi ini sering kali membuat redaksi memilih untuk menghindari isu-isu sensitif. Berita yang lebih "aman" atau sensasional seringkali lebih menguntungkan secara komersial, karena menarik pembaca yang lebih luas tanpa harus berhadapan dengan risiko besar.
Namun, apakah kita benar-benar tahu siapa yang diuntungkan dari kondisi ini? Tidak ada yang bisa mengatakan dengan pasti. Namun, satu hal yang pasti: yang dirugikan adalah publik yang berhak tahu, masyarakat yang terancam, dan lingkungan yang semakin tergerus. Keheningan pemberitaan ini bukan hanya ancaman bagi jurnalis, tetapi bagi seluruh tatanan sosial yang mengandalkan transparansi dan akurasi informasi.
Pentingnya Perlindungan terhadap Jurnalis dan Kebebasan Media
Negara dan aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang lebih kuat untuk melindungi jurnalis dan memastikan kebebasan pers. Perlindungan hukum yang tegas akan memberi ruang bagi media untuk meliput isu-isu penting tanpa rasa takut. Negara harus hadir untuk menjaga hak publik atas informasi yang bebas dan transparan, serta memastikan bahwa tidak ada pihak yang dapat menyembunyikan kebenaran demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Sunyi pemberitaan bukanlah fenomena yang bisa dianggap enteng. Di balik keheningan itu, ada kepentingan yang tersembunyi—kepentingan yang seringkali lebih menguntungkan pihak-pihak yang berkuasa. Sebagai masyarakat, kita berhak menuntut lebih: lebih banyak pemberitaan yang mengungkap fakta, lebih banyak jurnalis yang bisa bekerja tanpa ancaman, dan lebih banyak media yang berani mengungkap ketidakberesan yang ada di sekitar kita.
Keheningan bukan hanya soal sepinya suara. Keheningan adalah soal siapa yang memilih untuk tidak mendengar—dan siapa yang terus memetik keuntungan dari kebisuan itu.

0 Comments