Salam Motivasi dan Inspirasi: Membuka Hutan, Menyadari Risiko, dan Menghadapi Tantangan Lingkungan
MEMBUKA HUTAN: Sebuah Sejarah yang Tak Terbaca Secara Utuh
Setiap kali saya berdiskusi tentang hutan, saya selalu berbicara berdasarkan pengalaman lapangan saya, bukan sekadar opini kosong. Saya merasa penting untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas, karena banyak orang hari ini berbicara tentang deforestasi (penebangan hutan) seolah-olah itu hal baru. Padahal, pembukaan hutan di wilayah Sumatera Timur sudah terjadi sejak abad 18 hingga 20, jauh sebelum Republik Indonesia lahir.
1. Pembukaan Hutan: Bukan Cerita Baru
Kegiatan pembukaan hutan di Indonesia sudah terjadi jauh sebelum kemerdekaan, tepatnya pada masa kolonial Belanda. Pada waktu itu, hutan-hutan di Sumatera dibuka untuk perkebunan besar seperti tembakau Deli, karet, kopi, teh, kakao, dan kelapa sawit. Pembangunan infrastruktur perkebunan dilakukan dengan sistematis, mencakup pembangunan rel kereta api, pelabuhan, hingga pemukiman untuk para buruh yang bekerja di sana. Setelah Indonesia merdeka, banyak perkebunan milik Belanda yang dinasionalisasi menjadi Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) atau Perusahaan Terbatas Perkebunan (PTP) hingga PTP IX yang beroperasi di Sumatera Utara.
Namun, inti dari masalahnya bukan hanya "membuka hutan," tetapi lebih kepada di mana, untuk apa, dan dengan risiko apa hutan tersebut dibuka. Pembukaan hutan membawa konsekuensi jauh lebih besar dari sekadar mencapainya.
2. Pergeseran Lokasi: Dari Pantai Timur ke Bukit Barisan
Salah satu pergeseran besar yang terjadi dalam pembukaan hutan adalah peralihan lokasi dari dataran rendah Pantai Timur ke wilayah Bukit Barisan yang lebih tinggi. Pada masa lalu, perkebunan dan eksploitasi migas dominan berada di Pantai Timur Sumatera, yang memiliki tanah datar dan relatif stabil. Namun kini, ekspansi perkebunan dan aktivitas tambang merambah dataran tinggi Bukit Barisan hingga mencapai Pantai Barat.
Bukit Barisan sendiri adalah daerah tangkapan air utama yang menjadi sumber kehidupan bagi banyak masyarakat di sekitarnya. Sayangnya, tanah di daerah ini cukup rentan karena memiliki lereng yang curam, merupakan zona patahan gempa, dan terdiri dari tanah muda yang mudah longsor. Secara alami, daerah ini sudah rentan terhadap bencana alam seperti longsor dan banjir bandang, bahkan tanpa adanya eksploitasi berlebihan.
3. Konflik Lahan: Pola Lama yang Terulang Kembali
Selama saya menjadi anggota Brimob dari tahun 1980 hingga 2010, saya mengamankan berbagai konflik lahan. Dan saya melihat pola yang hampir selalu sama dalam setiap kasus. Misalnya, perubahan status lahan dari Hak Penguasaan Hutan (HPH) menjadi Hak Guna Usaha (HGU), atau dari HGU menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI), dan bahkan akhirnya berubah menjadi lahan tambang. Setiap kali status lahan berubah, pasti muncul konflik—baik antara masyarakat, adat, maupun secara horizontal dan vertikal.
Hal ini menunjukkan bahwa masalah tata kelola bukan hanya masalah kehutanan, melainkan masalah manajemen yang lebih luas, yaitu bagaimana negara mengelola sumber daya alam dan risiko yang ditimbulkan. Terlalu sering negara hadir terlambat, atau hanya hadir dalam bentuk izin tanpa pengendalian risiko yang memadai.
4. Keserakahan Zaman Sekarang
Hari ini, kita melihat ada keserakahan yang luar biasa dalam mengeksploitasi alam. Saya selalu mengatakan, "Yang dipikirkan keuntungan saja, tidak pernah memikirkan risikonya." Dulu, meski eksploitasi sangat kejam, masih ada batasan teknis dan wilayah yang dapat dijangkau. Sekarang, dengan alat berat yang lebih canggih dan modal besar yang tersedia, hampir semua bisa dibuka. Regulasi pun sering kali "dinegosiasikan," dan pada akhirnya, risiko ditanggung oleh alam dan rakyat, sementara keuntungan diambil oleh segelintir pihak.
5. Daerah Rawan Bencana, Tapi Tidak Berbasis Risiko
Yang lebih menyakitkan adalah ironi bahwa banyak wilayah rawan bencana yang dikelola tanpa memperhitungkan risiko. Tata ruang sering kali dikalahkan oleh izin yang diberikan tanpa mempertimbangkan kondisi alam dan potensi bahaya. Ketika bencana datang, banyak pihak menyebutnya sebagai "musibah," padahal sebenarnya banyak yang bisa diprediksi. Banjir dan longsor yang terjadi bukan semata-mata karena hujan yang lebat, tetapi karena kesalahan kita dalam memilih tempat yang salah untuk membuka hutan, dengan cara yang salah, tanpa menghitung risiko dengan benar.
6. Penolakan Saat Bicara Risiko Bencana
Saya pernah menghadapi banyak penolakan ketika saya berbicara tentang risiko bencana. Sebagian besar dari mereka yang menolak akan mengatakan, "Bapak orang Medan, cari makan di Medan. Kami cari makan di sini." Ini adalah perdebatan klasik antara perut dan keselamatan, antara kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang. Namun, ini bukan kesalahan masyarakat semata. Negara telah gagal memberikan alternatif ekonomi yang aman, dan edukasi risiko sering kalah oleh kebutuhan harian. Masyarakat bukan tidak peduli terhadap risiko; mereka hanya tidak punya pilihan lain.
7. Kesimpulan: Melihat Keberlanjutan dengan Bijak
Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita semua untuk lebih bijak dalam mengelola alam ini. "Banjir dan longsor hari ini bukan karena hujan semata, tetapi karena kita membuka hutan di tempat yang salah, dengan cara yang salah, tanpa menghitung risiko, lalu menyebut akibatnya sebagai takdir."
Mari kita jaga alam kita agar alam juga bisa menjaga kita. Dengan kesadaran dan tindakan yang lebih bijak, kita bisa memastikan bahwa generasi mendatang tetap memiliki alam yang lestari dan tidak terkena dampak buruk dari keputusan-keputusan yang diambil tanpa pertimbangan yang matang.
Salam Tangkas Tanggap Tangguh,

0 Comments