Pemulihan Jiwa Korban Bencana: Trauma Healing Diperlukan Segera untuk Mencegah Dampak Psikologis yang Lebih Parah

MEDAN [kji newsroom] — Bencana alam meninggalkan luka yang mendalam, tidak hanya pada tubuh dan harta, tetapi juga pada jiwa korban. Menurut Muliadi, Instruktur PB dan SAR serta Pengurus FPRB-PROVSU, pemulihan psikologis korban bencana sering kali terlambat dan terabaikan, padahal trauma yang mereka alami bisa berkembang menjadi gangguan jiwa yang serius jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

“Kondisi kejiwaan korban di lokasi bencana sangat memprihatinkan. Mereka bukan hanya merasa kehilangan keluarga, rumah, atau harta benda, tetapi juga identitas hidup mereka. Berdiri di atas puing-puing dan lumpur yang mengeras, banyak dari mereka yang teriak-teriak, marah, dan bingung. Ini adalah reaksi trauma berat, bukan sifat buruk,” kata Muliadi dengan penuh keprihatinan.

Luka Tiga Dimensi: Fisik, Sosial, dan Psikologis

Menurut Muliadi, dalam penanggulangan bencana, terdapat tiga jenis luka yang harus ditangani, yakni luka fisik, sosial-ekonomi, dan luka psikologis. Namun, luka psikologis sering kali terlambat mendapat perhatian. “Bantuan datang cepat untuk logistik, tetapi sangat lambat untuk jiwa. Padahal, jiwa yang hancur tidak mampu mengelola bantuan yang ada,” ujarnya.

Perasaan tidak aman, ketidakpastian masa depan, serta kehilangan kontrol adalah faktor utama yang memperburuk kondisi mental para korban. Ini membuat pemulihan jiwa menjadi sangat penting dalam proses pemulihan secara keseluruhan. Tanpa jiwa yang pulih, segala bantuan fisik akan terasa sia-sia. “Ada bantuan bahan mentah, tetapi mereka tidak mampu memasaknya. Ada tenda, tetapi tidak terasa aman,” tambah Muliadi.

Prinsip Dasar Trauma Healing: Mendengar dan Memberikan Rasa Aman

Trauma healing, menurut Muliadi, bukanlah sekadar ceramah atau teori psikologi yang rumit. Proses pemulihan ini membutuhkan pendekatan yang sederhana namun penuh empati. “Yang pertama adalah hadir dan mendengarkan. Kita harus duduk sejajar dengan korban, biarkan mereka mengungkapkan kemarahan atau kebingungannya tanpa disanggah. Cukup dengan mengatakan, 'Kami paham, Bapak/Ibu sangat berat mengalaminya.' Ini adalah langkah pertama untuk menyembuhkan jiwa,” jelasnya.

Selain itu, rasa aman harus segera dipulihkan. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan siap saji, air bersih, penerangan, dan informasi yang jelas meski terbatas. “Jiwa tidak akan bisa tenang jika perut kosong dan masa depan gelap,” ujar Muliadi.

Selanjutnya, korban bencana juga perlu merasa berguna dalam situasi ini. Melibatkan mereka dalam kegiatan ringan seperti mengatur tenda, membersihkan area, atau menjaga anak-anak akan mempercepat pemulihan mental mereka. “Orang yang merasa berguna akan merasa jiwa mereka bangkit lebih cepat,” tuturnya.

Pendampingan Spiritual sebagai Kekuatan Tak Terlihat

Muliadi juga menekankan pentingnya pendampingan spiritual dalam proses trauma healing. “Jangan lupakan kekuatan spiritual. Meskipun tidak ada ceramah panjang, doa bersama dan sholat berjamaah bisa memberikan ketenangan batin yang luar biasa. Kalimat sederhana seperti 'Ini ujian berat, tapi Bapak/Ibu tidak sendiri' bisa memberikan kekuatan luar biasa bagi korban,” ungkapnya.

Mempersiapkan Relawan untuk Trauma Healing

Trauma healing, menurut Muliadi, tidak hanya bisa dilakukan oleh psikolog klinis, tetapi juga oleh berbagai pihak yang dapat dilatih cepat, seperti relawan berpengalaman, tokoh agama, guru, kader kesehatan, dan aktivis sosial. “Yang penting adalah etika mendengar, bahasa empatik, serta tidak menghakimi atau menggurui. Proses ini memerlukan kepekaan dan kedekatan emosional dengan korban,” paparnya.

Pesan untuk Pemerintah dan BPBD: Pemulihan Jiwa Harus Jadi Prioritas

Muliadi mengingatkan bahwa pemulihan pascabencana tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga harus mempercepat pemulihan jiwa korban. “Jiwa yang pulih adalah fondasi untuk bangkitnya keluarga dan masyarakat. Trauma healing harus masuk dalam fase tanggap darurat, bukan menunggu rehabilitasi,” tegasnya.

Pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) diharapkan segera mengintegrasikan program trauma healing dalam rencana pemulihan bencana, agar proses rehabilitasi tidak hanya sekadar membangun kembali infrastruktur, tetapi juga membangun kembali mental dan jiwa korban bencana.

Diskusi Membangun Solusi melalui Gerbang Indonesia

Dalam diskusi yang digelar di grup WhatsApp Gerakan Bela Negara Membangun Indonesia (Gerbang Indonesia), Muliadi kembali menekankan urgensi trauma healing bagi korban bencana. Sebagai sebuah gerakan nasional, Gerbang Indonesia, yang dihadiri oleh berbagai relawan dan aktivis sosial, turut menyatakan komitmennya untuk mendukung pelaksanaan trauma healing di lapangan.

“Trauma healing bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau lembaga sosial tertentu, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Melalui Gerbang Indonesia, kita bisa mempercepat penyebaran informasi terkait pentingnya pemulihan psikologis dan memberikan pelatihan kepada lebih banyak relawan untuk turun langsung ke lapangan,” kata Muliadi dalam diskusi tersebut.

Gerbang Indonesia juga menyarankan agar setiap daerah yang dilanda bencana segera membentuk tim khusus trauma healing yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, guru, dan aktivis lokal. “Pemulihan jiwa tidak hanya menunggu bantuan datang, tetapi harus segera dilakukan saat bencana terjadi, karena waktu sangat menentukan,” tambahnya.

Mari Bersama Pulihkan Jiwa Korban Bencana

Proses trauma healing bukanlah program pelengkap, melainkan bagian penting dalam pemulihan pascabencana. Muliadi menutup perbincangan dengan sebuah ajakan: “Mari bersama kita pulihkan kejiwaan para korban bencana. Program trauma healing harus segera dimulai agar mereka bisa bangkit dan melanjutkan kehidupan dengan harapan yang baru.”

Dengan artikel ini, diharapkan kesadaran tentang pentingnya trauma healing dapat tumbuh dan membantu mempercepat pemulihan bagi korban bencana yang sering kali terlupakan dari segi psikologis. Pemulihan jiwa bukan hanya tugas pihak tertentu, tetapi tanggung jawab bersama untuk meringankan beban mereka yang sedang berjuang melawan trauma.